Senin, 27 Mei 2013

DESAIN SEKOLAH
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (PABK)
(SLB A, SLB B, SLB C, SLB C1, SLB D, SLB E)

Oleh
Kelompok 11
Boy Ridho V. Pasaribu (121301044)
Netova Sibuea (121301058)
Hengki Farnando Sitanggang (121301076)
Delius Fridolin M (121301096)
Imelda Anggraeni Sibarani (121301100)



1.        SLB A – TUNANETRA
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tunanetra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.

A.       Tujuan Pembelajaran
1.        Membantu penderita tunanetra untuk mengembangkan kemampuan dan mengoptimalkan perkembangan kognitifnya.
2.        Membantu mencarikan solusi atas minatnya penyandang tunanetra dengan konsep belajar sambil melakukan aktifitas lainnya.
3.        Mengembangkan serta mengoptimalkan kematangan afektif maupun emosi anak dengan melibatkan semua murid berinteraksi bersama sesama penyandang tunanetra.
4.        Mematangkan moral dan spiritual dengan mengajarkan kepada penyandang tunanetra untuk tidak merasa lain dan tetap bersyukur atas keadaannya, menjadikan penyandang menjadi manusia sejati, walaupun memiliki kekurangan.
5.        Meningkatkan ekspresi diri, misalnya dengan pembelajaran alat musik, atau bahkan bernyanyi. Sama seperti kasus kebanyakan sekarang, dimana para penyandang tune netra sudah jauh lebih baik hidupnya dengan tersalurkannya ekspresi diri ke dalam bentuk kegiatan lain.
6.        Mempersiapkan masa depan serta kemandirian anak dengan cara melatih anak membaca huruf braille, melakukan pekerjaan tanpa harus banyak merepotkan orang lain, sehingga pada akhir pembelajaran, diharapkan siswa SLB A ini bisa beradaptasi diluar lingkungan sekolah.

B.       Pendidikan
Sesuai dengan tujuan utama pembelajaran di SLB A ini, dan mengingat murid-murid di dalamnya adalah orang-orang dengan gangguan atau pun hambatan indra pengelihatan, maka sistem pendidikan yang kami gunakan adalah dengan menggunakan teknologi pendukung jaman sekarang yang disesuaikan dengan perkembangannya.
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah banyak digunakan untuk membantu para tunanetra. Penggunaan program seperti JAWS (pembaca layar) membuat pengoperasian komputer menjadi dimungkinkan oleh para tunanetra. Kegiatan membaca buku yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra selain menggunakan huruf braille, kini dapat dilakukan dengan bantuan alat pemindai (bahasa Inggris: scanner). Dengan menggunakan perangkat tersebut pada komputer yang telah dilengkapi dengan piranti lunak pembaca layar, pengguna cukup meletakkan buku di atas kaca pemindai dan program akan langsung membacanya dari teks yang direproduksi oleh komputer. Adapun, penggunaan alat khusus lainnya adalah seperti:
ü  Reglet dan Pena
ü  Mesin Tik Braille
ü  Printer Braille
ü  Abacus

C.       Pengajar/ Pendamping
Adapun pengajar ataupun pendamping yang kami tugaskan dalam SLB A ini adalah: guru khusus anak berkebutuhan khusus, psikolog, dokter mata dan komponen orang tua.

D.       Desain Belajar
Kami mendesain lingkungan pembelajaran sedemikian rupa agar semua tujuan pendidikan diatas dapat tercapai maksimal, yaitu dengan desain:
1.        Menandai jalan-jalan utama dan menuntun murid-murid penyandang tunanetra untuk mengetahui keberadaannya dimana dengan bantuan jalan setapak yang didesain lebih kasar permukaan lantainya dibandingkan lantai biasa.
2.        Desain ruang kelas yang tidak terlalu besar, sehingga memungkinkan pengajar dan pendamping mampu menjangkau seluruh siswa.
3.        Siswa tunanetra disatukan bersama dalam jumlah yang efektif, sehingga memungkinkan pola interaksi sosial agar tercipta dengan baik.
4.        Siswa lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan bebas, sehingga anak tidak terkekang dan bisa mengekspresikan diri sambil belajar hal-hal yang membuat anak lebih mandiri.
5.        Untuk Manajemen Kelas, digunakan gaya otoritarian, dimana pembelajaran bukan sebagai fokus utama, melainkan lebih terfokus pada kondisi kenyamanan kelas. Dan untuk penataan kelas, yang digunakan adalah gaya klaster, dimana anak akan membentuk kelompok kecil untuk kemudian masing-masing memiliki pendamping.

6.        Kondisi kelas yang nyaman, rapi, kursi yang aman buat penyandang tunanetra, lantai yang tidak lembab, dan manajemen peralatan yang baik sehingga memungkinkan kondisi kelas tidak berbahaya bagi penyandang tunanetra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar