Senin, 27 Mei 2013

Perkembangan Emosi pada Anak Usia antara 3 sampai 5 tahun 
  1. Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
  2. Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada beberapa orang. Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang merasa senang, sementara yang kalah akan sedih.
Perkembangan Emosi pada Anak Usia antara 5 sampai 12 tahun 
  1. Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai mampu menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan informasi- informasi secara.
  2. Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah menginternalisasikan rasa malu dan bangga. Anak dapat menverbalsasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain.
  3. Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol (Suriadi & Yuliani, 2006).
  4. Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
1.        SLB E – TUNALARAS
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar. Jadi anak dimaksud disini adalah anak yang mengalami hambatan/kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pendidikan SLB E ini diadakan untuk anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri atau pernah melakukan kejahatan. Pendidikan ini ada baiknya dimulai sejak umur 6-18 tahun. Anak tunalaras biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut:gangguan emosi dan gangguan sosial, seperti berbohong, menipu, mencuri, rasa rendah diri berlebihan seperti sering minta maaf, takut tampil dimuka umum, dan takut berbicara,merendahkan harga diri seperti bernada murung, cepat tersinggung, dan melakukan kejahatan.

A.       Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut.
1.        Pencapaian hasil belajar yang jauh di bawah rata-rata.
2.        Sering kali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan bimbingan untuk tindakan discipliner.
3.        Sering kali tidak naik kelas atau bahkan ke luar sekolahnya.
4.        Sering kali membolos sekolah.
5.        Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit, perlu istirahat.
6.        Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan dari petugas kesehatan atau bagian absensi.
7.        Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi.
8.        Lebih sering menjalani masa percobaan dari yang berwewenang.
9.        Lebih sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran tanda-tanda lalu lintas.
10.    Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.

B.       Pendidikan
1.        Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
2.        Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
3.        Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
4.        Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.

C.       Kebutuhan Pendidikan Anak Tunalaras
Sesuai dengan karakteristik anak tunalaras yang telah dikemukakan maka kebutuhan pendidikan anak tunalaras diharapkan dapat mengatasi problem perilaku anak tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.        Berusaha mengatasi semua masalah perilaku akibat kelainannya dengan menyesuaikan lingkungan belajar maupun proses pembelajaran yang sesuai dengan kondisi anak tunalaras.
2.        Berusaha mengembangkan kemampuan fisik sebaik-baiknya, mengembangkan bakat dan kemampuan intelektualnya.
3.        Memberi keterampilan khusus untuk bekal hidupnya.
4.        Memberi kesempatan sebaik-baiknya agar anak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan atau terhadap norma-norma hidup di masyarakat.
5.        Memberi rasa aman, agar mereka memiliki rasa percaya diri dan mereka merasa tidak tersia-siakan oleh lingkungan sekitarnya.
6.        Menciptakan suasana yang tidak menambah rasa rendah diri, rasa bersalah bagi anak tunalaras. Untuk itu, guru perlu memberi penghargaan atas prestasi yang mereka tampilkan sehingga mereka merasa diterima oleh lingkungannya.

D.       Desain Belajar
Di dalam SLB E ini, gaya penataan kelas yang dipakai adalah gaya klaster, dimana beberapa individu membentuk sebuah kelompok kecil, dan kemudian masing-masing kelompok dipegang oleh pendamping. Untuk hal lain yang berhubungan dengan karakteristik atau pola pembelajaran di SLB E ini adalah:
1.        Sistem Pengajaran
a.         Sistem pengajaran yang bersifat penyuluhan (remedial teaching). Tujuan pengajaran ini adalah membantu murid dalam kesulitan belajar.
b.        Sistem pengajaran klasikal.

2.        Program Bimbingan penyuluhan
a.       Program bimbingan penyuluhan suasana hidup beragama di asrama
b.      Program keterampilan
c.       Program belajar di sekolah regular
d.      Program bimbingan kesenian
e.       Program kembali ke orang tua
f.       Program kembali ke masyarakat
1.        SLB D – TUNADAKSA
Tunadaksa adalah keadaan dimana seorang individu mengalami kerusakan sebagian dari tubuhnya, seperti adanya kerusakan organ tubuh dan lain sebagainya atau dengan kata lain mengalami ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi kerja anggota tubuh secara normal, sehingga membutuhkan alat khusus tertentu untuk membantunya dalam beraktivitas. Di Indonesia sendiri, sekolah SLB D ini belum terlalu sering kita jumpai. Adapun tujuan daripada pendidikan SLB D ini adalah agar individu yang mengalami kerusakan organ tubuhnya tetapi bisa mengembangkan kemampuan serta bakat mereka, hingga akhirnya anak tunadaksa memiliki hidup yang bermanfaat.

A.       Tujuan Pembelajaran
1.        Membantu penderita tunadaksa untuk mengembangkan kemampuan dan mengoptimalkan perkembangan kognitifnya.
2.        Mengembangkan serta mengoptimalkan kematangan afektif maupun emosi anak.
3.        Mematangkan moral dan spiritual dengan mengajarkan kepada penyandang tunadaksa untuk tidak merasa lain dan tetap bersyukur atas keadaannya, menjadikan penyandang menjadi manusia sejati, walaupun memiliki kekurangan.
4.        Meningkatkan ekspresi diri.
5.        Mempersiapkan masa depan serta kemandirian anak.

B.       Pendidikan
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB D, namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas khusus tunadaksa:
1.        Keluasan Gerak
Jenis dan tingkat gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian tersebut maka hal penting yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke semua penjuru layanan pendidikan di sekolah dengan memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah akses utama adalah yang berkaitan dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan kelas, dan fasilitas sekolah lainnya (ruang perpustakaan, laboratorium, ruangan kesenian, ruang olahraga, dan toilet).

2.        Latihan Keterampilan Menolong Diri (Self Help)
Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat membutuhkan latihan membantu diri (self help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan aktivitas mereka sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum. Hal tersebut diharapkan anak bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Contohnya kegiatan makan dan minum, kegiatan yang melibatkan motorik halus (menggambar, menulis, melipat), keterampilan buang air kecil. Hal-hal tersebut merupakan hal yang penting yang harus dikuasai anak di sekolah.

3.        Kebutuhan Psikososial
Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki kesulitan dalam mengembangkan self esteem yang positif dan mengalami kecemasan yang lebih besar dibandingkan anak normal lainnya. Untuk mendukung agar anak tunadaksa memiliki sifat self esteem yang positif, maka seluruh anggota keluarga, guru di sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas harus memberikan dukungan dan bisa menerima anak dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Dengan dukungan yang positif ini diharapkan anak dapat menerima keadaan dirinya secara positif dan pada akhirnya menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di sekolah.

C.       Pengajar/ Pendamping
Untuk SLB D ini, adapun tenaga pengajar yang dipakai adalah pengajar yang telah mengikuti pelatihan khusus dan berpengalaman membimbing anak tunadaksa. Para ahli seperti psikolog, terapis, dokter, dan ahli lain yang berperan dalam pengamatan perkembangan kesehatan siswa.

D.       Desain Belajar
1.        Instruksi pelajaran: Teacher Center Learning
2.        Menciptakan sasaran behavioral:
a.         Fokus pada apa yang akan dipelajari atau dilakukan murid.
b.        Menyatakan bagaimana perilaku akan dievaluasi atau dites (kondisi dimana perilaku terjadi).
c.         Menetukan level kinerja yang dapat diterima.
3.        Analisis tugas, difokuskan pada pemecahan tugas kompleks yang dipelajarin murid menjadi komponen-komponen. Analisis tugas dilakukan dengan 3 langkah dasar:
a.         Menentukan keahlian atau konsep yang diperlukan murid untuk mempelajari tugas.
b.        Mendaftar materi yang dibutuhkan untuk melakukan tugas, seperti kertas, pensil, kalkulator, dsb.
c.         Mendaftar semua komponen tugas yang harus dilakukan.
4.        Penataan kelas menggunakan gaya tatap muka. Penataan kelas dengan gaya ini sangat mendukung proses belajar siswa dan membantu sosialisasi siswa. Dan dengan menggunakan penataan kelas seperti ini proses belajar TCL dapat terjadi dengan efektif.
5.        Perabot dalam kelas harus bersih dan aman, bangku ditata sedemikian rupa agar siswa tidak saling menghalangi, materi harus disimpan di tempat yang sama sepanjang tahun ajaran, tempat penyimpanan alat belajar dan bermain harus jauh dari jangkauan siswa.

6.        Kelas harus terang dan guru sebisanya menciptakan kelas yang menyenangkan dengan banyak materi.
1.        SLB C dan C1 – TUNAGRAHITA MAMPU DIDIK & MAMPU LATIH
Tuna grahita adalah keadaan keterbelakangan mental, keadaan ini juga disebut retardasi mental.
A.       Tujuan Pembelajaran
Melalui SLB ini, penderita tuna grahita diharapkan mampu mempelajari berbagai keterampilan. SLB untuk tuna grahita menekankan pada bina diri dan sosialisasi.

B.       Pendidikan
SLB ini difasilitasi dengan pengajar khusus untuk tuna grahita didampingi oleh psikolog dan tim medis yang diperlukan untuk memantau perkembangan anak tuna grahita tersebut.

C.       Pengajar/ Pendamping
SLB ini difasilitasi dengan pengajar khusus untuk tuna grahita didampingi oleh psikolog dan tim medis yang diperlukan untuk memantau perkembangan anak tuna grahita tersebut.

D.       Desain Belajar
Pembelajaran yang digunakan dalam SLB ini adalah Teacher Centered Learning (TCL). Kelas dibuat berwarna-warni agar anak tidak merasa jenuh dalam belajar. SLB ini lebih difokuskan dalam hal terapi gerak, terapi bermain, kemampuan merawat diri, dan keterampilan hidup. Misalnya anak diajak untuk mencontoh gerakan-gerakan senam sederhana setiap hari, belajar mencuci tangan dan kaki ketika kotor, memainkan permainan sederhana secara berkelompok, belajar merapikan rambut sendiri (untuk anak perempuan), belajar menyanyikan lagu-lagu berlirik pendek secara bersama-sama, dll.
DESAIN SEKOLAH
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (PABK)
(SLB A, SLB B, SLB C, SLB C1, SLB D, SLB E)

Oleh
Kelompok 11
Boy Ridho V. Pasaribu (121301044)
Netova Sibuea (121301058)
Hengki Farnando Sitanggang (121301076)
Delius Fridolin M (121301096)
Imelda Anggraeni Sibarani (121301100)



1.        SLB A – TUNANETRA
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tunanetra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.

A.       Tujuan Pembelajaran
1.        Membantu penderita tunanetra untuk mengembangkan kemampuan dan mengoptimalkan perkembangan kognitifnya.
2.        Membantu mencarikan solusi atas minatnya penyandang tunanetra dengan konsep belajar sambil melakukan aktifitas lainnya.
3.        Mengembangkan serta mengoptimalkan kematangan afektif maupun emosi anak dengan melibatkan semua murid berinteraksi bersama sesama penyandang tunanetra.
4.        Mematangkan moral dan spiritual dengan mengajarkan kepada penyandang tunanetra untuk tidak merasa lain dan tetap bersyukur atas keadaannya, menjadikan penyandang menjadi manusia sejati, walaupun memiliki kekurangan.
5.        Meningkatkan ekspresi diri, misalnya dengan pembelajaran alat musik, atau bahkan bernyanyi. Sama seperti kasus kebanyakan sekarang, dimana para penyandang tune netra sudah jauh lebih baik hidupnya dengan tersalurkannya ekspresi diri ke dalam bentuk kegiatan lain.
6.        Mempersiapkan masa depan serta kemandirian anak dengan cara melatih anak membaca huruf braille, melakukan pekerjaan tanpa harus banyak merepotkan orang lain, sehingga pada akhir pembelajaran, diharapkan siswa SLB A ini bisa beradaptasi diluar lingkungan sekolah.

B.       Pendidikan
Sesuai dengan tujuan utama pembelajaran di SLB A ini, dan mengingat murid-murid di dalamnya adalah orang-orang dengan gangguan atau pun hambatan indra pengelihatan, maka sistem pendidikan yang kami gunakan adalah dengan menggunakan teknologi pendukung jaman sekarang yang disesuaikan dengan perkembangannya.
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah banyak digunakan untuk membantu para tunanetra. Penggunaan program seperti JAWS (pembaca layar) membuat pengoperasian komputer menjadi dimungkinkan oleh para tunanetra. Kegiatan membaca buku yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra selain menggunakan huruf braille, kini dapat dilakukan dengan bantuan alat pemindai (bahasa Inggris: scanner). Dengan menggunakan perangkat tersebut pada komputer yang telah dilengkapi dengan piranti lunak pembaca layar, pengguna cukup meletakkan buku di atas kaca pemindai dan program akan langsung membacanya dari teks yang direproduksi oleh komputer. Adapun, penggunaan alat khusus lainnya adalah seperti:
ü  Reglet dan Pena
ü  Mesin Tik Braille
ü  Printer Braille
ü  Abacus

C.       Pengajar/ Pendamping
Adapun pengajar ataupun pendamping yang kami tugaskan dalam SLB A ini adalah: guru khusus anak berkebutuhan khusus, psikolog, dokter mata dan komponen orang tua.

D.       Desain Belajar
Kami mendesain lingkungan pembelajaran sedemikian rupa agar semua tujuan pendidikan diatas dapat tercapai maksimal, yaitu dengan desain:
1.        Menandai jalan-jalan utama dan menuntun murid-murid penyandang tunanetra untuk mengetahui keberadaannya dimana dengan bantuan jalan setapak yang didesain lebih kasar permukaan lantainya dibandingkan lantai biasa.
2.        Desain ruang kelas yang tidak terlalu besar, sehingga memungkinkan pengajar dan pendamping mampu menjangkau seluruh siswa.
3.        Siswa tunanetra disatukan bersama dalam jumlah yang efektif, sehingga memungkinkan pola interaksi sosial agar tercipta dengan baik.
4.        Siswa lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan bebas, sehingga anak tidak terkekang dan bisa mengekspresikan diri sambil belajar hal-hal yang membuat anak lebih mandiri.
5.        Untuk Manajemen Kelas, digunakan gaya otoritarian, dimana pembelajaran bukan sebagai fokus utama, melainkan lebih terfokus pada kondisi kenyamanan kelas. Dan untuk penataan kelas, yang digunakan adalah gaya klaster, dimana anak akan membentuk kelompok kecil untuk kemudian masing-masing memiliki pendamping.

6.        Kondisi kelas yang nyaman, rapi, kursi yang aman buat penyandang tunanetra, lantai yang tidak lembab, dan manajemen peralatan yang baik sehingga memungkinkan kondisi kelas tidak berbahaya bagi penyandang tunanetra.
DESAIN SEKOLAH
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (PABK)
(SLB A, SLB B, SLB C, SLB C1, SLB D, SLB E)

Oleh
Kelompok 11
Boy Ridho V. Pasaribu (121301044)
Netova Sibuea (121301058)
Hengki Farnando Sitanggang (121301076)
Delius Fridolin M (121301096)
Imelda Anggraeni Sibarani (121301100)



1.        SLB A – TUNANETRA
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tunanetra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.

A.       Tujuan Pembelajaran
1.        Membantu penderita tunanetra untuk mengembangkan kemampuan dan mengoptimalkan perkembangan kognitifnya.
2.        Membantu mencarikan solusi atas minatnya penyandang tunanetra dengan konsep belajar sambil melakukan aktifitas lainnya.
3.        Mengembangkan serta mengoptimalkan kematangan afektif maupun emosi anak dengan melibatkan semua murid berinteraksi bersama sesama penyandang tunanetra.
4.        Mematangkan moral dan spiritual dengan mengajarkan kepada penyandang tunanetra untuk tidak merasa lain dan tetap bersyukur atas keadaannya, menjadikan penyandang menjadi manusia sejati, walaupun memiliki kekurangan.
5.        Meningkatkan ekspresi diri, misalnya dengan pembelajaran alat musik, atau bahkan bernyanyi. Sama seperti kasus kebanyakan sekarang, dimana para penyandang tune netra sudah jauh lebih baik hidupnya dengan tersalurkannya ekspresi diri ke dalam bentuk kegiatan lain.
6.        Mempersiapkan masa depan serta kemandirian anak dengan cara melatih anak membaca huruf braille, melakukan pekerjaan tanpa harus banyak merepotkan orang lain, sehingga pada akhir pembelajaran, diharapkan siswa SLB A ini bisa beradaptasi diluar lingkungan sekolah.

B.       Pendidikan
Sesuai dengan tujuan utama pembelajaran di SLB A ini, dan mengingat murid-murid di dalamnya adalah orang-orang dengan gangguan atau pun hambatan indra pengelihatan, maka sistem pendidikan yang kami gunakan adalah dengan menggunakan teknologi pendukung jaman sekarang yang disesuaikan dengan perkembangannya.
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah banyak digunakan untuk membantu para tunanetra. Penggunaan program seperti JAWS (pembaca layar) membuat pengoperasian komputer menjadi dimungkinkan oleh para tunanetra. Kegiatan membaca buku yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra selain menggunakan huruf braille, kini dapat dilakukan dengan bantuan alat pemindai (bahasa Inggris: scanner). Dengan menggunakan perangkat tersebut pada komputer yang telah dilengkapi dengan piranti lunak pembaca layar, pengguna cukup meletakkan buku di atas kaca pemindai dan program akan langsung membacanya dari teks yang direproduksi oleh komputer. Adapun, penggunaan alat khusus lainnya adalah seperti:
ü  Reglet dan Pena
ü  Mesin Tik Braille
ü  Printer Braille
ü  Abacus

C.       Pengajar/ Pendamping
Adapun pengajar ataupun pendamping yang kami tugaskan dalam SLB A ini adalah: guru khusus anak berkebutuhan khusus, psikolog, dokter mata dan komponen orang tua.

D.       Desain Belajar
Kami mendesain lingkungan pembelajaran sedemikian rupa agar semua tujuan pendidikan diatas dapat tercapai maksimal, yaitu dengan desain:
1.        Menandai jalan-jalan utama dan menuntun murid-murid penyandang tunanetra untuk mengetahui keberadaannya dimana dengan bantuan jalan setapak yang didesain lebih kasar permukaan lantainya dibandingkan lantai biasa.
2.        Desain ruang kelas yang tidak terlalu besar, sehingga memungkinkan pengajar dan pendamping mampu menjangkau seluruh siswa.
3.        Siswa tunanetra disatukan bersama dalam jumlah yang efektif, sehingga memungkinkan pola interaksi sosial agar tercipta dengan baik.
4.        Siswa lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan bebas, sehingga anak tidak terkekang dan bisa mengekspresikan diri sambil belajar hal-hal yang membuat anak lebih mandiri.
5.        Untuk Manajemen Kelas, digunakan gaya otoritarian, dimana pembelajaran bukan sebagai fokus utama, melainkan lebih terfokus pada kondisi kenyamanan kelas. Dan untuk penataan kelas, yang digunakan adalah gaya klaster, dimana anak akan membentuk kelompok kecil untuk kemudian masing-masing memiliki pendamping.

6.        Kondisi kelas yang nyaman, rapi, kursi yang aman buat penyandang tunanetra, lantai yang tidak lembab, dan manajemen peralatan yang baik sehingga memungkinkan kondisi kelas tidak berbahaya bagi penyandang tunanetra.